KEDUDUKAN
ANAK ANGKAT MENURUT
HUKUM
WARIS ADAT BALI

OLEH :
KOMANG REZA KARTIKA
NIM. 131 111 53
NI NYOMAN TRI THIKA
DEWANTHARI
NIM. 131 111 49
NI PUTU CANDRA MALINI
NIM. 131 111 55
MADE SUARDHANA
NIM. 131 111 59
Dharma Acarya/VIA
Program Studi Pendidikan Agama Hindu
KEMENTERIAN
AGAMA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA HINDU NEGERI
GDE
PUDJA MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
“ Om Swastyastu “
Puja dan puji syukur patut kita haturkan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat, rahmat dan karunia
beliau akhirnya makalah yang yang berjudul “Kedudukan
Anak Angkat Menurut Hukum Waris Adat Bali “ dapat diselesaikan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya
ucapkan kepada dosen pengempu mata kuliah “Hukum Adat” atas segala kemudahan,
serta motivasi dan bimbingan yang
diberikan sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik dan saran dari pihak
lain sangat diharapkan demi terwujudnya suatu kesempurnaan dalam penulisan
makalah ini, dan semoga makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat
menambah pengetahuan.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih
dan mohon maaf atas segala kekurangan dari isi tulisan ini.
“Om
Santih Santih, Santih Om”
Mataram, Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................
A.
Latar Belakang..................................................................................
B.
Rumusan Masalah.............................................................................
C.
Tujuan Penulisan...............................................................................
D.
Manfaat Penulisan.............................................................................
BAB II. PEMBAHASAN...................................................................................
A.
Sistem Kekeluargaan.......................................................................
a.
Macam-macam Sistem
Kekeluargaan dalam Hukum Adat.......
B.
Pengangkatan Anak
(Adopsi) Menurut Hukum Adat.....................
a.
Definisi Pengangkatan
Anak dan Anak Angkat........................
b.
Macam-macam
Pengangkatan Anak..........................................
c.
Sistem Pengangkatan
Anak Menurut Hukum Adat Bali...........
d.
Alasan Pengangkatan
Anak Menurut Hukum Adat Bali...........
C.
Pewarisan Menurut Hukum
Waris Adat..........................................
a.
Pengertian Hukum Waris
Adat..................................................
b.
Sistem Pewarisan Dalam
Hukum Waris Adat...........................
c.
Macam-macam Harta
Warisan Dalam Hukum Waris Adat.......
d.
Ahli Waris Dalam Hukum
Waris Adat......................................
D.
Kedudukan Anak Angkat
Terhadap Harta Warisan Orang
Tua Angkatnya
Menurut Hukum Adat Bali....................................
BAB III. PENUTUP...........................................................................................
A. Kesimpulan......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Anak adalah bagian dari segala tumpuan
dan harapan kedua orang tua (ayah dan ibu) sebagai penerus hidup. Mempunyai
anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta
kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan
dalam keluarga. Namun, tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai
dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami
kesulitan dalam memperoleh keturunan. Sedangkan keinginan untuk mempunyai anak
nampaknya begitu besar. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang
mengangkat anak.
Pengangkatan
anak lazim dilakukan di seluruh Indonesia, akan tetapi caranya berbeda-beda
menurut hukum adat setempat. Hal tersebut selanjutnya berdampak terhadap akibat
dari pengangkatan anak tersebut yaitu memutuskan hubungan kekeluargaan antara
anak angkat dengan orang tua kandungnya dan adapula yang tidak memutus hubungan
kekeluargaan anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Pengertian
pengangkatan anak secara umum adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di masyarakat bersangkutan.
Sedangkan
menurut Soepomo (2000 : 34) perbuatan mengangkat anak adalah: Perbuatan hukum
yang melepaskan anak itu dari pertalian kekeluargaan dengan orang tua sendiri
yang memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkatnya sehingga anak itu
sendiri seperti anak kandung. Pendapat dari Soepomo di atas memberikan
pengertian bahwa anak angkat itu mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung
dalam hal tertentu.
Pengangkatan
anak menitik beratkan pada kewajiban dari anak angkat terhadap pengangkat
apabila nantinya orang tuanya meninggal dunia, yaitu berkewajiban melaksanakan
upacara pengabenan sebagai tanda penghormatan.
Pada masyarakat
hukum adat Bali ikatan kekeluargaannya patrilineal, yaitu berdasarkan pada
garis keturunan bapak. Hal ini membawa konsekwensi adanya peranan yang sangat
penting bagi anak laki-laki sebagai penerus keturunan bagi keluarganya,
sedangkan tidak demikian halnya dengan anak perempuan. Anak laki-laki sebagai
penerus keturunan, mempunyai kewajiban bertanggung jawab terhadap pemujaan
leluhurnya, oleh karena itu ia berhak terhadap harta warisan orang tuanya.
Selanjutnya bagi mereka yang tidak mempunyai anak laki-laki seringkali akan
melakukan perbuatan mengangkat anak sebagai penerus keturunan keluarganya.
Gusti Ketut
(1987:62) mengatakan pengertian mengenai pengangkatan anak di dalam masyarakat
adat Bali sebagai berikut: Pengangkatan anak di Bali terselenggaranya hampir
selalu dalam lingkungan keluarga besar dari pada hukum keluarga, yang karib menurut
naluri (purusa), walaupun di masa akhir-akhir ini lebih (lagi) diperbolehkan
memungut anak berasal di luar lingkungan itu, dalam beberapa dusun juga sanak
saudaranya si istri (dari predana) diambil anak.
Pendapat Ter
Haar tersebut di atas, menyebutkan bahwa terselenggaranya pengangkatan anak
saat ini di dalam masyarakat hukum adat Bali sudah tidak saja dapat diambil
dari keluarga purusa. Pengangkatan anak bisa pula diambil dari keluarga istri
yang masih dalam lingkungan keluarganya. Hal tersebut diperbolehkan bila suami
istri si pengangkat merupakan satu klan keluarga besar. Apabila pihak istri
tersebut tidak merupakan satu kerabat dengan pihak suami, maka hal tersebut
tidak diperbolehkan. Larangan tersebut mengingat sistem kekeluargaan yang
terdapat di dalam masyarakat hukum adat Bali, yaitu sistem patrilineal/kebapakan.
I Wayan Beni dan
Sagung Ngurah, (1989 : 16) menyatakan: Pengangkatan anak di dalam masyarakat
hukum adat Bali dianggap sah apabila telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan
persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum adat Bali, yaitu seperti adanya
persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan, adanya Dewa Saksi dan Manusia
Saksi, serta adanya Siar.
Pendapat I Wayan
Beni dan Sagung Ngurah di atas jelas menyebutkan sahnya pengangkatan anak
menurut hukum adat Bali harus adanya upacara Dewa Saksi, Manusia Saksi dan
adanya Siar. Dewa Saksi di dalam masyarakat hukum adat Bali disebutkan dengan
Peras, sedangkan Manusia Saksi merupakan persetujuan serta kesaksian dari pihak
yang berkepentingan. Siar merupakan pengumuman terhadap pengangkat anak
tersebut yang biasanya dilakukan di dalam pertemuan masyarakat adat atau banjar
dimana yang bersangkutan tunduk
pada
hukum adatnya.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah
pengertian anak angkat di Bali adalah anak orang lain yang oleh seseorang
diambil, dipelihara dan diperlakukan sebagai keturunan sendiri. Di dalam
perkembangannya pengangkatan anak di Bali sudah tidak sesuai dengan ketentuan
yang ada, terutama syarat-syarat anak yang diangkat. Adapun pengangkatan anak
akan berakibat pula pada pewarisan untuk si anak angkat itu sendiri.
Perkembangan itu tentunya menimbulkan permasalahan tersendiri, baik mengenai
pengangkatan anaknya maupun pewarisannya. Berdasarkan hal tersebut di atas,
maka penulis bermaksud untuk menyusun makalah dengan Judul “Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Waris Adat Bali”
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
prosedur pengangkatan anak menurut hukum adat Bali?
2. Bagaimana
kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkat menurut hukum
waris adat Bali?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui Bagaimana prosedur pengangkatan anak menurut hukum adat Bali.
2. Untuk
mengetahui Bagaimana kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tua
angkat menurut hukum waris adat Bali.
D.
Manfaat
Penulisan
1. Secara
Teoritis penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu pengetahuan tentang hukum waris adat dan secara praktis penulisan ini diharapkan
bermanfaat bagi pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sistem Kekeluargaan
a. Macam-Macam Sistem Kekeluargaan dalam
Hukum Adat
Menurut (Hilman, 1980 : 23) mengatakn
bahwa ada 3 (tiga) macam sistem kekeluargaan, yaitu :
1. Sistem
kekeluargaan matrilineal yaitu: suatu sistem kekeluargaan dengan cara menarik
garis keturunan seseorang melalui garis ibu.
2. Sistem
kekeluargaan patrilineal yaitu: suatu sistem kekeluargaan dengan cara menarik
garis keturunan sesorang secara konsekuen melalui garis laki-laki atau bapak.
3. Sistem
kekeluargaan parental yaitu: suatu sistem kekeluargaan dengan cara menarik
garis keturunan seseorang melalui garis ibu dan bapak, serta keluarga ibu dan
keluarga bapak sama nilai dan sama derajatnya.
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, maka peranan anak sebagai penerus keturunan dalam
tiga sistem kekeluargaan ini sangat penting. Adapun contohnya pada masyarakat
Minangkabau peranan anak wanita lebih penting dari anak laki-laki karena
menganut sistem kekeluargaan matrilineal. Demikian pula sebaliknya masyarakat
Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, maka anak laki-laki lebih
memegang peranan penting dari anak wanita. Atas dasar itu apabila tidak adanya anak
kandung, maka upaya yang ditempuh untuk mempertahankan garis keturunan/marga
dari masing-masing sistem kekeluargaan itu adalah pengangkatan anak.
B.
Pengangkatan Anak (Adopsi) Menurut Hukum
Adat
a)
Definisi
Pengangkatan Anak dan Anak Angkat
Dari
segi etimologi yaitu asal usul kata, adopsi berasal dari bahasa Belanda “Adoptie”
atau “Adaption” (Bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak.
(https://www.google.co.id/#q=pengangkatan+anak+menurut+hukum+adat) diakses pada tgl. 14 Maret 2016 pkl. 20.15)
Dari
segi terminologi, adopsi diartikan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia dijumpai
arti anak angkat yaitu: anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan
anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan, adopsi adalah suatu cara
untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan
perundang-undangan
b)
Macam-macam
Pengangkatan Anak
Anak
angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir dan batin
diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandungnya sendiri. Dalam hukum adat,
dikenal adanya dua
macam pengangkatan anak,
yaitu:
1. Pertama,
pengangkatan anak secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak yang
dilakukan secara terbuka dan dihadiri oleh segenap keluarga, pemuka-pemuka
adat/pejabat adat (ini pengertian terang) dan seketika itu juga diberikan
pembayaran uang adat (pengertian terang). Di Bali, selain pengangkatan anak
dihadiri oleh seorang pendanda (pemuka agama), diadakan upacara pamit dari para
leluhur asal dari anak tersebut dan kemudian di desa.
2. Kedua,
secara terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak yang dilakukan secara
diam-diam, tanpa mengundang keluarga seluruhnya, biasanya hanya keluarga
tertentu saja, tidak dihadiri oleh pemuka atau pejabat adat atau desa, dan
tidak dengan membayar uang adat. Hal ini biasanya bermotif hanya atas dasar perkemanusiaan,
ingin mengambil anak tersebut untuk memelihara, dan juga ingin meringankan
beban tanggungan dari orang tua asli anak tersebut.
c)
Sistem
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Bali
Masayarakat
hukum adat Bali adalah menganut sistem kekeluargaan patrilineal, artinya
keturunan selalu ditarik hanya melalui garis pihak laiki-laki saja yang dalam
bahasa Bali disebut dengan garis kepurusa.
Sistem
kekeluargaan patrilineal pada masyarakat Bali merupakan suatu prinsip, suatu
sikap yang magis religius. Adapun ciri-ciri hukum kekeluargaan patrilineal di
Bali tampak dalam penguasaan kepada anak laki-laki untuk melaksanakan pemujaan
leluhur, dan mengabdi kepada desa yang banyak memerlukan tenaga bagi warga
desa.
Konsekwensi
dengan dianutnya sistem kekeluargaan patrilineal dalam masyarakat hukum Bali,
menyebabkan kedudukan anak laki-laki adalah sangat menonjol, termasuk dalam
pewarisan dari harta peninggalan orang tuanya. Keadaan tersebut pada dasarnya
disebabkan karena anak laki-laki di masyarakat hukum adat Bali adalah
berkedudukan di samping sebagai penerus keturunan, juga berkewajiban pada
peribadatan keluarga. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi anak perempuan,
sebab anak perempuan setelah kawin akan mengikuti keluarga suaminya dan putus
hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya ( Gede Wayan, 1978:24)
d)
Alasan
Pengangkatan Anak Menrut Hukum Adat Bali
Masyarakat
Bali adalah menganut sistem kekeluargaan yang patrilineal dimana si istri akan
masuk ke dalam keluarga suaminya, demikian pula dengan anak-anak yang dilahirkannya.
Menurut
Surojo Wignjodipuro alasan-alasan yang mendorong orang untuk mengangkat anak
adalah:
1. Karena
tidak mempunyai anak sendiri, sehingga dengan mengangkat anak tersebut,
merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan.
2. Karena
belum dikaruniai anak, sehingga dengan mengangkat. anak ini diharapkan akan
mempercepat kemungkinan mendapatkan anak.
3. Terdorong
oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang bersangkutan misalnya karena
hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.
Pada masyarakat adat Bali bagi
seorang yang tidak mempunyai anak akan berusaha mengangkat anak dengan alasan
antara lain:
1. Tidak
mempunyai anak atau keturunan.
2. Alasan
kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak akan dapat melahirkan anak kandung
sendiri.
3. Meneruskan
keturunan yang berkaitan dengan yadnya.
C.
Pewarisan
Menurut Hukum Waris Adat
1.
Pengertian
Hukum Waris Adat
Menurut Ter Haar (1982:231) hukum
waris adat merupakan hukum yang bertalian dengan proses aturan-aturan penurunan
dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke turunan. Menurut
Soepomo (2000:84), merumuskan hukum waris adat sebagai hukum yang menurut
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan
barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari suatu angkatan manusia
kepada turunannya.
Dari pengertian di atas dapat
diketahui bahwa hukum waris adat itu meliputi keseluruhan asas, norma dan
keputusan hukum yang bertalian dengan proses penurunan serta pengalihan harta
benda (material), harta cita (non material) dari generasi satu kepada generasi
berikutnya
2.
Sistem
Pewarisan dalam Hukum Waris Adat
Pewarisan
adalah hubungan hukum atau kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan yang ditinggalkan, baik setelah
pewaris meinggal ataupun selagi pewaris itu masih hidup.
Proses
yang dimaksudkan dalam hal ini adalah cara sebagai suatu upaya yang sah dalam
perubahan hak dan kewajiban atas harta warisan dan besarnya perolehan
berdasarkan kedudukan para pihak karena ditentukan oleh hukum. Menurut (Hilman,
1980:24-19), Di Indonesia secara garis besar dikenal tiga sistem pewarisan,
yaitu:
a.
Sistem Pewarisan
Individual
Suatu sistem pewarisan yang setiap
ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan
menurut bagiannya masing-masing. Sistem pewarisan ini contohnya pada masyarakat
parental di Jawa
b.
Sistem Pewarisan
Kolektif
Pada sistem ini harta warisan
diteruskan dan dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada ahli warisnya sebagai
satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya. Setiap ahli
waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan dan mendapatkan hasil dari harta
warisan itu. Sistem pewarisan kolektif ini contohnya pada masyarakat
matrilineal di Mingangkabau.
c.
Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem
mayorat ini sebenarnya juga sistem pewarisan kolektif, hanya saja penerusan dan
pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan
kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga. Sistem
pewarisan mayorat contohnya di Pulau Bali, dimana anak laki-laki tertua mempunyai
hak mayorat tetapi dengan kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan
mereka
3.
Macam-macam
Harta Warisan dalam Hukum Waris Adat
Soeripto (1987:95-99), menjelaskan
bahwa setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta / kekayaan keluarga berupa
harta benda baik yang mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada hubungannya
dengan keagamaan / upacara-upacara keagamaan dan harta tidak mempunyai nilai
magis religius antara lain : harta akas kaya, harta jiwa dana. Ditinjau dari
macamnya, harta warisan menurut hukum adat dapat dibedakan menjadi :a). Harta
Pusaka, b). Harta Bawaan, b). Harta Bersama.
4.
Ahli
Waris dalam Hukum Waris Adat
Menurut hukum
adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang menjadi ahli
waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris.
Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali,
apabila pewaris hanya mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan
sentana rajeg dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu si wanita kawin dengan
si laki-laki dengan menarik laki-laki itu ke dalam keluarganya. Di sini si
wanita berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki berkedudukan
sebagai perempuan. Bagi si wanita akan berlaku hukum kewarisan yang lazim
berlaku untuk laki-laki di keluarga itu (Iman Sudiyat, 1983:162).
D.
Kedudukan
Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkatnya Menurut Hukum Adat Bali
Menurut Penelitian yang dilakuan Mery
Wanyi (2006), mengatakan bahwa pengangkatan anak pada Suku Bali yang bersifat
kekeluargaan kebapaan (patrilineal) memasukkan anak itu ke dalam keluarga orang
tua angkatnya dan berkedudukan sebagai anak kandung.
Soeripto (1973:92) menjelaskan
bahwa setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta/kekayaan keluarga yang berupa
harta benda yang mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada
hubungannya dengan keagamaan/upacara-upacara keagamaan dan harta kekayaan yang
tidak mempunyai nilai-nilai magis religius. Selanjutnya disebutkan harta yang
tidak mempunyai nilai magis religius antara lain: 1). harta akas kaya, 2). Harta
jiwa dana, 3). Harta tetatadan, 4). Harta druwe gabro.
Adapun pengertian dari harta akas
kaya adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing dari suami-isteri atas
cucuran keringat sendiri sebelum masuk jenjang perkawinan. Pengertian dari
harta jiwa dana adalah pemberian secara iklas oleh orang tua kepada
anak-anaknya baik laki-laki maupun wanita selama masih kumpul dengan pewaris
sebelum masuk perkawinan.
Pemberian dari tetatadan adalah
pemberian kepada anak-anak wanita pada waktu perkawinannya (kawin keluar)
dilangsungkan, sedangkan barang druwe gabro adalah harta yang diperoleh suami
isteri dengan cucuran keringat bersama.
Dari penjelasan ini dapat penulis
simpulkan bahwa kesemuannya itu adalah harta benda/kekayaan yang diperoleh
sebelum masuk jenjang perkawinan, sedangkan harta druwe gabro adalah harta yang
diperoleh dalam suatu perkawinan (suami isteri). Dengan adanya macam-macam
barang dari keluarga sebagaimana tersebut di atas hak-hak anak angkat terhadap
harta keluarga orang tua angkatnya, adalah sebagai ahli waris orang tuan
angkatnya.
Dari kalangan para sarjana hukum
adat waris yang berlaku pada suku Bali anak angkat adalah ahli waris harta
benda keluarga seperti harta akas kaya, harta jiwa harta tetatadan, dan harta
Druwe gabro dari orang tua angkatnya.
Keadaan ini tidak berubah apabila
setelah diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak kandung, maka anak angkat
tetap sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Apabila kalau si anak kandung
yang dilahirkan perempuan dan melakukan perkawinan jujur/keluar, maka si anak
angkat akan menjadi ahli waris tunggal.
Melihat perkembangan dewasa ini
pengangkatan anak bukan saja dari clan sendiri untuk mencegah adanya sengketa,
maka ditetapkan bahwa si anak angkat yang bukan dari clan sendiri hanya
mewarisi harta bersama/guna kaya dari orang tua angkatnya, sedangkan harta
pusaka diserahkan kepada orang tua angkatnya. Apabila di anak angkat dari clan
sendiri/masih ada hubungan darah tidak ada pembatasan hak ia mewaris semua
harta warisan orang tua angkatnya termasuk harta pusaka.
Disamping itu anak angkat yang sah
sebagai pewaris harta orang tua angkatnya menurut hukum adat dapat juga gugur
karena hak mewaris harta benda orang tua angkatnya karena suatu hal, misalnya
tidak memenuhi kewajibannya, umpamannya durhaka terhadap leluhur dan orang tua
angkatnya. Apabila hal ini terjadi maka si pewaris di hadapan penduduk Banjar
menyerahkan seluruh harta miliknya kepada seorang anggota keluarga sedarah yang
kemudian harus disusul dengan laporan kepada perbekel (kepala adat) dan klian
adat.
Adapun menurut pandangan sarjana I
Gede Pudja, dalam bukunya yang berjudul Hukum Waris Hindu yang diresipir ke
dalam Hukum Adat Bali dan Lombok, mengemukakan bahwa: Meninggalnya agama
leluhur dianggap juga sebagai sebab lenyapnya kedudukan mereka sebagai ahli
waris, kejadian inipun dapat dianggap sebagai kejadian durhaka terhadap
leluhur, karena sebagai akibat dari meninggalkan agama yang dianutnya jelas
mereka tidak akan dapat melaksanakan kewajiban sebagai anak atau putra terhadap
leluhurnya, oleh karena itu menghalangi kedudukannya sebagai ahli waris. Dari
penjelasan ini jelaslah hak waris anak angkat menjadi terputus dengan orang tua
angkantnya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang telah
diuraikan di dalam bab-bab terdahulu maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Pengangkatan
anak menurut hukum adat Bali dilakukan terhadap anak laki-laki dengan upacara
adat yaitu upacara pemerasan dan siar serta diikuti dengan pembuatan surat
peras. Namun dalam perkembangannya diperbolehkan mengangkat anak perempuan
untuk dijadikan sentana rajeg dan ada pula yang mengangkat anak bukan
dari clan sendiri. Peranan pejabat umum dalam hal ini notaris diganti oleh
kepala desa dalam membuat surat peras sebagai alat bukti tertulis adanya
pengangkatan anak bagi masyarakat setempat (masyarakat Hindu Bali) dan
dilanjutkan dengan pengesahan dari camat setempat.
2. Hubungan
kekeluargaan anak angkat dengan orang tua kandungnya putus dan dia memasuki
kekerabatan orang tua angkatnya. Kedudukan anak angkat dalam keluarga orang tua
angkatnya adalah sebagai anak kandung, sehingga berfungsi sebagai pelanjut
keturunan dan berkedudukan sebagai ahli waris Dengan ketentuan anak angkat dari
clan sendiri mewarisi semua harta warisan orang tua angkatnya termasuk harta
pusaka. Sebaliknya anak angkat bukan dari clan sendiri hanya mewarisi harta guna
kaya (harta pencaharian) sedangkan harta pusakanya kembali kepada asalnya. Anak
angkat tersebut tidak berhak mewaris terhadap harta peninggalan dari orang tua
kandungnya oleh karena hubungan kekeluargaannya telah terputus.
Daftar Pustaka
Beni,
I Wayan dan Ngurah Sagung.1983: Hukum Adat Di dalam Yurisprudensi Indonesia,
Surya Jaya, Denpasar
Haar,
Ter, 1986, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Diterjemahkan oleh K. Ng.
Soebekti Proesponoto, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Hadi
Kusuma, Hilman. 1990 Hukum Waris Adat,
Citra Aditya Bakti, Bandung
Korn,
V.E.1987.Hukum Keluarga di Bali. Terjemahan I Gde Wayan Pangkat, Biro Dokumentasi
dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Soepomo,
R.2000. Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Soeripto.1973.
Beberapa Bab tentang Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum Universitas Negeri
Jember, Jember.
Sudiyat,
Imam.1981. Sketsa Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta.
https://www.google.co.id/#q=pengangkatan+anak+menurut+hukum+adat) diakses pada tgl. 14 Maret 2016 pkl. 20.1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar