BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam berbagai wacana selalu terungkap bahwa telah menjadi
kesepakatan bangsa adanya empat pilar penyangga kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi negara-bangsa Indonesia. Bahkan beberapa partai politik dan
organisasi kemasyarakatan telah bersepakat dan bertekad untuk berpegang teguh
serta mempertahankan empat pilar kehidupan bangsa tersebut. Empat pilar
dimaksud dimanfaatkan sebagai landasan perjuangan dalam menyusun program kerja
dan dalam melaksanakan kegiatannya. Hal ini diungkapkan lagi oleh Presiden RI
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, pada kesempatan berbuka puasa dengan para
pejuang kemerdekaan pada tanggal 13 Agustus 2010 di istana Negara.
Empat pilar tersebut adalah (1) Pancasila, (2) Undang-Undang
Dasar 1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (4) Bhinneka Tunggal
Ika. Meskipun hal ini telah menjadi kesepakatan bersama, atau tepatnya sebagian
besar rakyat Indonesia, masih ada yang beranggapan bahwa empat pilar tersebut
adalah sekedar berupa slogan-slogan, sekedar suatu ungkapan indah, yang kurang
atau tidak bermakna dalam menghadapi era globalisasi. Bahkan ada yang
beranggapan bahwa empat pilar tersebut sekedar sebagai jargon politik. Yang
diperlukan adalah landasan riil dan konkrit yang dapat dimanfaatkan dalam
persaingan menghadapi globalisasi.
Untuk itulah perlu
difahami secara memadai makna empat pilar tersebut, sehingga kita dapat
memberikan penilaian secara tepat, arif dan bijaksana terhadap empat pilar
dimaksud, dan dapat menempatkan secara akurat dan proporsional dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun sebelumnya, ada baiknya bila kita
merenung sejenak bahwa di atas empat pilar tersebut terdapat pilar utama yakni
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Tanpa adanya
pilar utama tersebut tidak akan timbul adanya empat pilar dimaksud. Antara
proklamasi kemerdekaan, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dilukiskan secara
indah dan nyata dalam lambang negara Garuda Pancasila.
Sejak tahun 1951,
bangsa Indonesia, dengan Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951, menetapkan
lambang negara bagi negara-bangsa yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945. Ketetapan tersebut dikukuhkan dengan perubahan UUD 1945 pasal 36A yang
menyebutkan: ”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.” Lambang negara Garuda Pancasila mengandung konsep yang sangat
esensial dan merupakan pendukung serta mengikat pilar-pilar dimaksud. Burung
Garuda yang memiliki 17 bulu pada sayapnya, delapan bulu pada ekornya, 45 bulu
pada leher dan 19 bulu pada badan di bawah perisai, menggambarkan tanggal
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perisai yang digantungkan di
dada Garuda menggambarkan sila-sila Pancasila sebagai dasar negara, ideologi
bangsa dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sementara itu Garuda mencengkeram
pita yang bertuliskan ”Bhinneka Tunggal ika,” menggambarkan keanekaragaman
komponen bangsa yang harus dihormati, didudukkan dengan pantas dan dikelola
dengan baik. Dengan demikian terjadilah suatu kesatuan dalam pemahaman dan
mendudukkan pilar-pilar tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia mengandung konsep dan prinsip yang sangat mendasar
yakni keinginan merdeka bangsa Indonesia dari segala macam penjajahan. Tidak
hanya merdeka atau bebas dari penjajahan fisik tetapi kebebasan dalam makna
yang sangat luas, bebas dalam mengemukakan pendapat, bebas dalam beragama,
bebas dari rasa takut, dan bebas dari segala macam bentuk penjajahan modern.
Konsep kebebasan ini yang mendasari pilar yang empat dimaksud.
Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan. Pilar memiliki
peran yang sangat sentral dan menentukan, karena bila pilar ini tidak kokoh
atau rapuh akan berakibat robohnya bangunan yang disangganya. Demikian pula
halnya dengan bangunan negara-bangsa, membutuhkan pilar atau soko guru yang
merupakan tiang penyangga yang kokoh agar rakyat yang mendiami akan merasa
nyaman, aman, tenteram dan sejahtera, terhindar dari segala macam gangguan dan
bencana. Pilar bagi suatu negara-bangsa berupa sistem keyakinan atau belief
system, atau philosophische grondslag, yang berisi konsep, prinsip dan nilai
yang dianut oleh rakyat negara-bangsa yang bersangkutan yang diyakini memiliki
kekuatan untuk dipergunakan sebagai landasan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. (http://helena-hapsari.blogspot.com/2011/04/empat-pilar-berbagsa-benegara.html)
Seperti halnya soko
guru atau pilar bagi suatu rumah harus memenuhi syarat agar dapat menjaga
kokohnya bangunan sehingga mampu bertahan serta menangkal segala macam ancaman
dan gangguan, demikian pula halnya dengan belief system yang dijadikan pilar
bagi suatu negara-bangsa. Pilar yang berupa belief system suatu negara-bangsa
harus menjamin kokoh berdirinya negara-bangsa, menjamin terwujudnya ketertiban,
keamanan, dan kenyamanan, serta mampu mengantar terwujudnya kesejahteraan dan
keadilan yang menjadi dambaan warga bangsa. Pada kesempatan ini penulis akan
membahas satu pokok permasalahan yakni Pancasila sebagai salah satu pilar dalam
kehidupan berbagsa dan bernegara. (Subandi Al Marsudi, 2000)
1.2.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa Pengertian dari Pancasila ?
2. Bagaimana Pancasila dipandang
sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah:
1. Agar dapat mengetahui apa itu
Pancasila
2. Agar mengetaui bagaimana Pancasila
dipandang sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbagsa dan bernegara
3. Untuk mengetahui nilai-nilai,
prinsip, konsep-konsep yang terkandung dalam Pancasila
4. Untuk mengetahui Pancasila sebagai
Ideology Nasional Bangsa Indonesia
1.4. Manfaat Penulisan
Agar dapat memberikan informasi
serta membuka wawasan betapa pentingnya Pancasila sebagai salah satu pilar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pancasila
Secara etomologis Pancasila berasal
dari bahasa sansekerta yang artinya, “Panca’’ berati lima dan “Sila” berarti
batu sendi, alas atau dasar. Dengan demikian Pancasila mempuyai arti lima dasar
sedangkan sila itu sendiri diartikan sebagai kesusilaan atau norma tingkah laku
yang dianggap baik untuk dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Oleh karena Pancasila dapat juga diartikan, lima dasar
kesusilaan atau lima norma atau peraturan tentang tingkah laku yang dianggap
baik.
Istilah Pancasila sudah dikenal
sejak jaman Majapahit yang ditulis dalam buku Sutasoma yang dikarang oleh Mpu
Tantular. Dalam buku Sutasoma itu istilah Pancasila mempuyai arti berbatu sendi
yang lima yang berasal dari bahasa sansekerta, juga mempuyai arti pelaksanaan
kesusilaan yang lima yang disebut panca karma yaitu; tidak boleh melakukan
kekerasan, tidak boleh mencuri, tidak boleh berjiwa dengki, tidak boleh
berbohong, tidak boleh mabuk minuman keras (I Made Sujana, dkk, 2010 : 8)
2.2.
Pilar Pancasila Sebagai Wawasan dalam Berbagsa dan Bernegara
Pilar pertama bagi tegak kokoh
berdirinya negara-bangsa Indonesia adalah Pancasila. Timbul pertanyaan, mengapa
Pancasila diangkat sebagai pilar bangsa Indonesia. Perlu dasar pemikiran yang
kuat dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat diterima oleh seluruh
warga bangsa, mengapa bangsa Indonesia menetapkan Pancasila sebagai pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti yang telah dikatakana bahwa Pilar
atau tiang penyangga suatu bangunan harus memenuhi syarat, yakni disamping
kokoh dan kuat, juga harus sesuai dengan bangunan yang disangganya. Misal
bangunan rumah, tiang yang diperlukan disesuaikan dengan jenis dan kondisi
bangunan. Kalau bangunan tersebut sederhana tidak memerlukan tiang yang terlalu
kuat, tetapi bila bangunan tersebut merupakan bangunan permanen, konkrit, yang
menggunakan bahan-bahan yang berat, maka tiang penyangga harus disesuaikan
dengan kondisi bangunan dimaksud.
Demikian pula halnya
dengan pilar atau tiang penyangga suatu negara-bangsa, harus sesuai dengan
kondisi negara-bangsa yang disangganya. Kita menyadari bahwa negara-bangsa
Indonesia adalah negara yang besar, wilayahnya cukup luas seluas daratan Eropa
yang terdiri atas berpuluh negara, membentang dari barat ke timur dari Sabang
sampai Merauke, dari utara ke selatan dari pulau Miangas sampai pulau Rote,
meliputi ribuan kilometer. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia yang memiliki 17 000 pulau lebih, terdiri atas berbagai suku bangsa yang
memiliki beraneka adat dan budaya, serta memeluk berbagai agama dan keyakinan,
maka belief system yang dijadikan pilar harus sesuai dengan kondisi negara
bangsa tersebut. (http://helena-hapsari.blogspot.com/2011/04/empat-pilar-berbagsa-benegara.html)
Pancasila dinilai memenuhi syarat
sebagai pilar bagi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik dan cukup luas dan
besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam
kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada
segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia,
merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga dapat diterima semua
agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan penghormatan terhadap
hak asasi manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya,
tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Pancasila menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat, namun dalam
implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Sedang kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, bukan untuk kesejahteraan perorangan atau golongan. Nampak bahwa
Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi negara-bangsa yang pluralistik. (Made
Sujana, dkk, 2010 : 10 )
Pancasila sebagai salah satu pilar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki konsep, prinsip dan nilai yang
merupakan kristalisasi dari belief system yang terdapat di seantero wilayah
Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh kuatnya Pancasila sebagai pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara. (Made Sujana, dkk, 2010 : 10 )
Negara Indonesia adalah negara
hukum, yang bermakna bahwa hukum harus dijunjung tinggi dan ditegakkan. Setiap
kegiatan dalam negara harus berdasar pada hukum, dan setiap warganegara harus
tunduk dan taat pada hukum. Perlu kita sadari bahwa satu-satunya norma
kehidupan yang diakui sah untuk memaksa warganya adalah norma hukum, hal ini
berarti bahwa aparat pemerintah memiliki hak untuk memaksa, dan apabila perlu
dengan kekerasan, terhadap warganegara yang tidak mau tunduk dan tidak mematuhi
hukum. Memaksa adalah hak asasi aparat penyelenggara pemerintahan dalam
menegakkan hukum.
Suatu negara yang tidak mampu menegakkan hukum
akan mengundang terjadinya situasi yang disebut anarkhi. Sebagai akibat
warganegara berbuat dan bertindak bebas sesuka hati, tanpa kendali, dengan
berdalih menerapkan hak asasi, sehingga yang terjadi adalah kekacauan demi
kekacauan. Dewasa ini berkembang pendapat dalam masyarakat, aparat yang dengan
tegas menindak perbuatan warganegara yang mengacau dinilai sebagai melanggar
hak asasi manusia, bahkan sering diberi predikat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat.
Agar dalam penegakan hukum ini tidak
dituduh sebagai tindak sewenang-wenang, sesuka hati penguasa, melanggar hak
asasi manusia, diperlukan landasan yang dapat dipertanggung jawabkan dan dapat
diterima oleh rakyat. Landasan tersebut berupa cita hukum atau rechtsidee yang
merupakan dasar filsafati yang menjadi kesepakatan rakyat Indonesia. Pancasila
sebagai cita hukum mengejawantah dalam dasar negara, yang dijadikan acuan dalam
menyusun segala peraturan perundang-undangan. Pancasila merupakan common
denominator bangsa, kesepakatan bangsa, terbukti sejak tahun 1945 Pancasila
selalu dicantumkan sebagai dasar negara. Pancasila dipandang cocok dan mampu
dijadikan landasan yang kokoh untuk berkiprahnya bangsa Indonesia dalam
menegakkan hukum, dalam menjamin terwujudnya keadilan. (http://helena-hapsari.blogspot.com/2011/04/empat-pilar-berbagsa-benegara.html)
2.3.
Berbagai Konsep yang terdapat dalam Pancasila
Konsep adalah gagasan umum dan abstrak,
merupakan faham universal hasil olah fikir dan generalisasi manusia. Konsep
adalah hasil konstruksi nalar manusia secara teoretik. Secara logik konsep
berfungsi sebagai dalil, suatu gagasan yang memberikan makna terhadap fenomena
atau hal ihwal sehingga ditemukan esensi atau hakikat dari fenomena atau hal
ihwal dimaksud. Konsep dipergunakan oleh manusia untuk memberikan arti terhadap
segala fenomena yang dialami oleh manusia, sekaligus sebagai acuan kritik dalam
memberikan makna terhadap fenomena yang dihadapi. Adapun konsep-konsep yang
terdapat dalam Pancasila yaitu:
1.
Konsep Religiositas
Konsep
mengenai kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia ini adalah
konsep religiositas, suatu konsep dasar yang terdapat dalam setiap agama maupun
keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh manusia. Pancasila mengandung konsep
religiositas, suatu konsep yang mengakui dan meyakini bahwa di luar diri
manusia terdapat kekuatan gaib yang menjadikan alam semesta, mengaturnya
sehingga terjadi keselarasan dan keserasian. Sebagai akibat manusia Pancasila
beriman dan bertakwa terhadap kekuatan gaib tersebut. Pancasila menyebutnya
sebagai suatu panduan yang bernama Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan
esensi dari segala agama dan kepercayaan yang berkembang di Indonesia.
2. Konsep
Humanitas
Faham
humanisme yang berisi konsep humanitas menyentuh pula pemikiran para founding
fathers, sehingga oleh Bung Karno diangkat menjadi salah satu prinsip bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan diusulkan untuk dijadikan salah satu
prinsip yang menjadi dasar negara. Bung Karno menamakannya sebagai prinsip
peri-kemanusiaan atau internasionalisme. Namun Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia akhirnya menyepakati sila kedua Pancasila ini
ditetapkannya menjadi ”Kemanusiaan yang adil dan beradab,” yang memiliki makna
salah satunya sebagai berikut: “Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
didudukkan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya. Manusia dikaruniai
oleh Tuhan berbagai disposisisi atau kemampuan dasar untuk mendukung misi yang
diembannya. Disposisi tersebut adalah kemampuan untuk berfikir, merasakan,
berkemauan dan berkarya. Sebagai akibat dari kemampuan tersebut manusia
mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya. Dengan kemampuannya
tersebut manusia menghasilkan karya-karya baik yang bersifat nampak (tangible)
maupun yang tidak nampak (intangible), terakumulasi dalam kehidupannya,
dipelihara dan dijadikan kiblat dan acuan bagi hidupnya. Berkembanglah budaya
dan peradaban. Disebabkan oleh pengalaman sejarah hidup yang berbeda yang
dialami oleh masing-masing komunitas atau kelompok masyarakat, maka setiap
kelompok masyarakat memiliki budaya dan peradabannya sendiri-sendiri. Demikian
pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai manusia atau suatu komunitas wajib
menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia yang manifestasinya berupa
keaneka ragaman adat budaya lokal dan daerah.”
3.
Konsep Nasionalitas
a. Rakyat Indonesia dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara terikat dalam suatu komunitas yang namanya bangsa
Indonesia. Mereka mengaku dengan ikhlas dan bangga sebagai warga bangsa
Indonesia, cinta serta rela berkorban demi Negara dan bangsanya.
b. Tanpa mengurangi hak pribadi, loyalitas
warganegara terhadap Negara dan bangsanya, mengenai perkara yang bersifat
sekular atau duniawi, diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan .
c. Dalam mengembangkan wawasan
kebangsaan ciri golongan, baik ditinjau dari segi etnis, suku, agama, maupun
adat budaya, dihormati dan ditempatkan secara proporsional dalam menegakkan
persatuan dan kesatuan bangsa. Wawasan kebangsaan tidak mengeliminasi
keanekaragaman. Kearifan lokal (local wisdom) dipelihara, dijaga dan
dikembangkan sejalan dengan wawasan kebangsaan. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak-puncak kebudaya-an di daerah di seluruh Indonesia
diperhitungkan sebagai kebudayaan bangsa.
d. Atribut negara-bangsa seperti
bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Garuda
Pancasila, bahasa nasional Indonesia dan gambar kepala negara dihormati dan
didudukkan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan bangsa. Memperlakukan
atribut negara secara tidak senonoh atau kurang beradab tidak sesuai dengan
esensi wawasan kebangsaan. Menghormati atribut negara-bangsa tidak bermakna
menyembah atau mensakralkan atribut tersebut. Perlu disadari bahwa mencederai
atribut bangsa, atau melecehkan atribut bangsa sama saja dengan melecehkan diri
sendiri sebagai warganegara dan bangsa.
e. Dengan berprinsip pada wawasan
kebangsaan, bangsa Indonesia tidak menolak masuknya kebudayaan asing dengan
syarat bahwa kebudayaan dimaksud harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya,
kesatuan dan persatuan banga. Bahwa kebudayaan asing dimaksud dapat
memperkem-bangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa, serta mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia.
f. Dalam mengembangkan wawasan
kebangsaan perlu dihindari berkembangnya faham kebangsaan sempit, yang
memandang bangsanya sendiri yang paling hebat di dunia dan memandang rendah
bangsa yang lain. Demikian pula dengan wawasan kebangsaan tidak berkembang
menjadi faham ekspansionis yang berusaha untuk menguasai negara-bangsa lain.
Dengan berpegang pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia memiliki missi untuk
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
4.
Konsep Sovereinitas
Bila sila pertama, kedua dan ketiga
Pancasila memberikan makna tata hubungan manusia dengan sekitarnya, maka sila
keempat ”Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,” memberikan
gambaran bagaimana selayaknya tata cara hubungan antara unsur-unsur yang
terlibat kehidupan bersama, untuk selanjutnya bagaimana menentukan kebijakan
dan langkah dalam menghadapi permasalahan hidup. (http://helena-hapsari.blogspot.com/2011/04/empat-pilar-berbagsa-benegara.html)
Berbagai pihak memberikan penjelasan
bahwa yang dimaksud ”kerakyatan” adalah yang oleh berbagai negara disebut
demokrasi. Kerakyatan adalah demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang
memiliki ciri sesuai dengan latar belakang budaya bangsa Indonesia sendiri.
Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berprinsip bahwa sumber
kekuasaan atau wewenang dalam menyelenggarakan pemerintahan bersumber pada
rakyat. Oleh karena itu, Dikatakannya bahwa demokrasi adalah ”government from
the people, by the people and for the people”, pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. (Made Sujana, dkk, 2010 : 94)
5.
Konsep Sosialitas
Pada umumnya, orang berbicara tentang
demokrasi selalu dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga selalu
dikaitkan dengan kehidupan politik negara-bangsa. Dengan penyelenggaraan
demokrasi manusia dihormati, dihargai dan didudukkan sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai manusia., sehingga timbul kepuasan batin dalam diri
manusia. Namun kepuasan hidup manusia tidak hanya terbatas pada kepuasan mental
dan spiritual saja, manusia juga memerlukan kepuasan dari sisi material.
Manusia membutuhkan berbagai keperluan hidup, baik yang berupa materi pendukung
bagi hidupnya, maupun mengenai hal-hal yang bersifat mental dan spiritual
Selanjutnya dikemukakan bahwa yang
ingin diwujudkan dengan berdirinya negara Republik Indonesia ini adalah
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang bermakna suatu masyarakat
yang adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak
ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada exploitation de l’ homme par
l’homme. Sehingga akan terwujud masyarakat yang berbahagia.
Berbagai pemikiran telah diusahakan
bagaimana mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Pasal-pasal UUD 1945
telah memberikan landasan untuk mencapai hal tersebut, di antaranya terdapat
dalam pasal 33 dan 34 yang rumusannya adalah sebagai berikut :
Pasal 33;
1. Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkan-dung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemak-muran rakyat.
4. Perekonomian nasional
diselenggarakan berda-sar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelan-jutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 34;
1. Fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipeli-hara oleh negara.
2. Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masya-rakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3. Negara betanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pela-yanan umum yang
layak.
Dengan telah tersedianya landasan
penyelenggaraan demokrasi ekonomi ini, tinggal bagaimana rakyat Indonesia
menjabarkan lebih lanjut menyusun peraturan perundang-undangan yang merupakan
turunan dari pasal-pasal dimaksud, untuk selanjutnya direalisaikan dalam
kenyataan. (Aim Abdulkarim, 2006)
2.4. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila
Pancasila sebagai salah satu pilar
dalam kehidupan berbagsa dan bernegara mengandung beberapa nilai-nilai
diantaranya:
1.
Nilai Kedamaian
Kedamaian adalah situasi yang menggambarkan
tidak adanya konflik dan kekerasan. Segala unsur yang terlibat dalam suatu
proses sosial berlangsung secara selaras, serasi dan seimbang, sehingga
menimbulkan keteraturan, ketertiban dan ketenteraman. Segala kebutuhan yang
diperlukan oleh manusia dapat terpenuhi, sehingga tidak terjadi perebutan
kepentingan. Hal ini akan terwujud bila segala unsur yang terlibat dalam
kegiatan bersama mampu mengendalikan diri.
2.
Nilai Keimanan
Keimanan adalah suatu sikap yang
menggambarkan keyakinan akan adanya kekuatan transendental yang disebut Tuhan
Yang Maha Esa. Dengan keimanan manusia yakin bahwa Tuhan menciptakan dan
mengatur alam semesta. Apapun yang terjadi di dunia adalah atas kehendak-Nya,
dan manusia wajib untuk menerima dengan keikhlasan.
3. Nilai Ketaqwaan
Ketaqwaan adalah suatu sikap berserah diri
secara ikhlas dan rela diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa, bersedia tunduk dan
mematuhi segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
4.
Nilai Keadilan
Keadilan adalah suatu sikap yang mampu
menempatkan makhluk dengan segala permasalahannya sesuai dengan hak dan
kewajiban serta harkat dan martabatnya secara proporsional diselaraskan dengan
peran fungsi dan kedudukkannya.
5.
Nilai Kesetaraan
Kesetaraan adalah suatu sikap yang mampu
menempatkan kedudukan manusia tanpa membedakan jender, suku, ras, golongan,
agama, adat dan budaya dan lain-lain. Setiap orang diperlakukan sama di hadapan
hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam segenap bidang kehidupan sesuai
dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
6.
Nilai Keselarasan
Keselarasan adalah keadaan yang menggambarkan
keteraturan, ketertiban dan ketaatan karena setiap makhluk melaksanakan peran
dan fungsinya secara tepat dan proporsional, sehingga timbul suasana harmoni,
tenteram dan damai. Ibarat suatu orkestra, setiap pemain berpegang pada
partitur yang tersedia, dan setiap pemain instrumen melaksanakan secara taat
dan tepat, sehingga terasa suasana nikmat dan damai.
7. Nilai Keberadaban
Keberadaban adalah keadaan yang
menggambarkan setiap komponen dalam kehidupan bersama berpegang teguh pada
ketentuan yang mencerminkan nilai luhur budaya bangsa. Beradab menurut bangsa
Indonesia adalah apabila nilai yang terkandung dalam Pancasila direalisasikan
sebagai acuan pola fikir dan pola tindak.
8.
Nilai Persatuan dan Kesatuan
Persatuan dan kesatuan adalah keadaan yang
menggambarkan masyarakat majemuk bangsa Indonesia yang terdiri atas
beranekaragamnya komponen namun mampu membentuk suatu kesatuan yang utuh.
Setiap komponen dihormati dan menjadi bagian integral dalam satu sistem
kesatuan negara-bangsa Indonesia.
9.
Nilai Mufakat
Mufakat adalah suatu sikap terbuka
untuk menghasilkan kesepakatan bersama secara musyawarah. Keputusan sebagai
hasil mufakat secara musyawarah harus dipegang teguh dan wajib dipatuhi dalam
kehidupan bersama.
10. Nilai
Kebijaksanaan
Kebijaksanaan adalah sikap yang
menggambarkan hasil olah fikir dan olah rasa yang bersumber dari hati nurani
dan bersendi pada kebenaran, keadilan dan keutamaan. Bagi bangsa Indonesia hal
ini sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
11. Nilai
Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah kondisi yang
menggambarkan terpenuhinya tuntutan kebutuhan manusia, baik kebutuhan lahiriah
maupun batiniah sehingga terwujud rasa puas diri, tenteram, damai dan bahagia.
Kondisi ini hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras, jujur dan
bertanggungjawab. (Subandi Al. Marsudi, 2000)
2.5. Pancasila Sebagai Ideologi Nasional Bangsa Indonesia
Ideologi berasal dari kata Yunani idein yang berarti melihat
dan logia yang berarti kata atau ajaran, sehingga ideologi adalah ilmu tentang
cita-cita, gagasan atau buah fikiran. Selanjutnya A. Destult de Tracy (+ 1836)
berpendapat bahwa ideologi merupakan bagian dari filsafat ( science des idees
), yang merupakan ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain seperti pendidikan, etika
dan politik
Pancasila memiliki berbagai fungsi bagi bangsa Indonesia,
suatu ketika Pancasila berfungsi sebagai dasar negara, suatu ketika dipandang
sebagai ideologi nasional, suatu ketika sebagai pandangan hidup dan suatu
ketika sebagai ligatur bangsa. Pancasila sebagai dasar negara berfungsi sebagai
acuan bagi warganegara dalam memahami hak dan kewajibannya sebagai warganegara,
sehingga berkaitan dengan pengelolaan dan implementasi peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Redpublik Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi nasional berfungsi sebagai acuan bagi bangsa
Indonesia dalam mengelola berbagai kegiatan dalam mencapai tujuan yang ingin
diwujudkan oleh negara. Kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam
dikelola sesuai dengan konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam
Pancasila. (Made Sujana, Dkk, 2010 : 5)
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Secara etomologis Pancasila berasal
dari bahasa sansekerta yang artinya, “Panca’’ berati lima dan “Sila” berarti
batu sendi, alas atau dasar. Dengan demikian Pancasila mempuyai arti lima dasar
sedangkan sila itu sendiri diartikan sebagai kesusilaan atau norma tingkah laku
yang dianggap baik untuk dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Oleh karena Pancasila dapat juga diartikan, lima dasar
kesusilaan atau lima norma atau peraturan tentang tingkah laku yang dianggap
baik.
Pancasila yang merupakan salah satu
dari empat pilar berbangsa dan bernegara dinilai memenuhi syarat sebagai pilar
bagi Negara dan bangsa Indonesia yang pluralistik dan cukup luas dan besar ini.
Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan
negara-bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada
segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia,
merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga dapat diterima semua
agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan penghormatan terhadap
hak asasi manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya,
tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Pancasila menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat, namun dalam
implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Sedang kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, bukan untuk kesejahteraan perorangan atau golongan. Nampak bahwa
Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi negara-bangsa yang pluralistik.
3.2.
Saran
Seperti
yang telah dijelaskan bahwa pancasila yang merupakan salah satu dari empat
pilar yang digunakan sebagai pedoman/wawasan
dalam kehidupan berbagsa dan bernegara hendaknya segala nilai, prinsip,
dan konsep-konsep yang terkandung didalamnya diaplikasikan dengan baik sehingga
dapat memberikan kenyamanan dalam menjalankan kehidupan berbagsadan bernegara.
Daftar
Pustaka
1.
Abdulkarim, Aim, 2006: Pendidikan
Kewarganegaraan, Grafindo Media Pratama. Jakarta
2.
AL Marsudi, Subandi, 2000: Pancasila dan UUD
1945 dalam Paradigma Reformasi, Raja Grafindo. Jakarta
3.
Sujana, Made. Dkk, 2010: Pendidikan Kewarganegaraan, DIREKTORAT JENDRAL BIMBINGAN MASYARAKAT
HINDU KEMENTERIAN AGAMA RI. Jakarta Pusat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar