NILAI – NILAI YANG TERTUANG DALAM
LONTAR
CILINAYA
( Suatu Kajian Filologi )

OLEH
:
KOMANG REZA KARTIKA
NIM.
131 111 53
V/Dharma Acarya
KEMENTERIAN
AGAMA
SEKOLAH TINGGI
AGAMA HINDU NEGERI
GDE PUDJA
MATARAM
2015
KATA PENGANTAR
“
Om Swastyastu “
Puja dan puji syukur patut kita haturkan ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas
berkat, rahmat dan karunia beliau akhirnya makalah yang yang berjudul “Nilai-nilai yang tertuang dalam Lontar
Cilinaya “ dapat diselesaikan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan
kepada dosen pengempu mata kuliah Filologi
atas segala kemudahan, serta motivasi
dan bimbingan yang diberikan sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik dan saran dari pihak lain sangat
diharapkan demi terwujudnya suatu kesempurnaan dalam penulisan makalah ini, dan
semoga makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat menambah
pengetahuan.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan
mohon maaf atas segala kekurangan dari isi tulisan ini.
“Om Santih Santih, Santih Om”
Mataram, November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
…………………………………………………..... i
Kata Pengantar …………………………………………………… ii
Daftar isi …………………………………………………………… iii
BAB I. Pendahuluan …………………………………………… .
1.1 Latar Belakang ……………………………………….
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………
BAB II. Pembahasan ……………………………………………. 4
2.1 Identitas Lontar Cilinaya ……………………………. 4
2.2 Bahasa dalam Lontar Cilinaya ………………………. 4
2.3 Ringkasan Cerita Lontar Cilinaya …………………… 5
2.4 Nilai-nilai yang tertuang dalam Lontar Cilinaya.......... 7
2.4.1 Nilai Theologi.................................................... 8
2.4.2 Nilai Etika.......................................................... 11
2.4.3 Nilai Sosial......................................................... 20
2.4.4 Nilai Budaya...................................................... 22
BAB
III. Penutup ………………………………………………… 25
3.1
Simpulan ……………………………………………. 25
Daftar Pustaka................................................................................... 26
Lampiran........................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan Negara yang terkenal akan seni dan budaya, setiap daerah memiliki
ciri tersendiri berdasarkan kebudayaan yang terdapat di masing-masing daerah,
keragaman suku, adat, ras, agama, dan kebudayaan menyatu dalam suatu ikatan
yang disebut Bhineka Tunggal Ika yang terdapat dalam satu bumi NKRI. Setiap
daerah memiliki suatu peniggalan-peninggalan baik dari segi bangunan, budaya,
serta naskah-naskah suci yang berupa lontar-lontar dan naskah suci lainnya.
Meskipun perkembangan prilaku dan pola pikir masyarakat yang semakin modern,
namun peninggalan peninggalan bersejarah tidaklah boleh untuk dilupakan karena
kebanggaan kita sebagai warga Negara Indonesia adalah kita merupakan Negara
yang kaya akan budaya.
Berkaitan
dengan naskah-naskah suci yang klasik yang terdapat di Indonesia, semuanya
perlu dilestarikan karena keberadaan naskah-naskah suci yang klasik di
Indonesia juga merupakan suatu pegangan dalam menjalankan suatu kehidupan, karena mengandung nilai-nilai yang sangat mendalam dalam menjhalankan suatu proses
kehidupan.
Selain
di pulau bali yang terkenal sebagai sumber naskah klasik seperti lontar, di
pulau Lombok juga banyak terdapat naskah-naskah lontar yang dijadikan suatu
pedoman dalam menjalankan kehidupan di masa lalu. Namun dalam kondisi dinamika
masyarakat Lombok yang semakin modern, dan di iringi dengan pengaruh dunia
global yang begitu kuat, maka untuk memulihkan kembali suatu budaya dalam
menjalankan suatu kehidupan yang berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam
lontar perlu untuk di lestarikan. Bahkan lebih ironis lagi, naskah-naskah
klasik yang mengandung banyak nilai-nilai
yang dapat menjadi pedoman dalam menjalkankan proses kehidupan jarang
di sentuh oleh masyarakat dan hanya dijadikan suatu pameran budaya peninggalan
daerah yang di tempatkan di museum-museum tanpa ada upaya untuk menyebarkan
naskah itu kepada masyarakat untuk di pelajari dan dipedomani.
Seperti
halnya salah satu lontar yang terdapat dilombok yaitu lontar cilinaya.Naskah klasik ini bila di kaji
mengandung berbagai nilai-nilai
yang
begitu mendalam baik nila
ketuhanan (Theologi), nilai etika, nilai sosial, nilai budaya dan lain-lain.
Sehingga dari hal tersebut
penulis tertarik untuk mengkaji apa
saja nilai-nilai yang tertuang dalam lontar Cilinaya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarakan
latar belakang di atas, penulis mencoba menarik rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana deskripsi lontar Cilinaya?
2. Apa saja nilai-nilai yang tertuang
dalam lontar cilinaya?
1.3 Tujuan
Pernulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini ialah:
1.
Untuk
mengetahui bagaimana deskripsi lontar Cilinaya
2.
Untuk
mengetahui apa saja nilai-nilai yang tertuang dalam lontar Cilinaya ialah untuk mengetahui nilai-nilai apa saja yang
terkandung dalam lontar Cilinaya.
1.4 Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan ini ialah untuk menambah
pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca mengenai nilai-nilai yang tertuang dalam lontar Cilinaya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Identitas Lontar Cilinaya
Lontar
Cilinaya
merupakan naskah lama yang terdapat di pulau Lombok, lontar ini sudah di alih
bahasa (diterjemahkan) ke dalam bahasa Indonesia.Dalam menjaga kelestariannya,
lontar cilinaya di musiumkan di museum Negeri Nusa Tenggara Barat di bawah
naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam
museum lontar ini diberikan nomor inventaris 07.932 dengan ukuran naskah
Pj:16,5cm, Lbr: 3cm, Tbl: 13,5cm dengan ukuran teks Pj:10cm, Lbr: 2,5cm. dan
terdapat 197 lempir daun lontar.
197
lempir tulisan yang terdapat dalam lontar cilinaya berdasarkan hasil terjemahan
terdiri dari 14 pupuh yaitu puh semaranggiring (5bait), Puh Dangdang (35bait),
Puh Pangkur (33bait), Puh Sinom (39 bait), Puh Maskumirah (7bait), Puh Kubur
Cara Bali (106) bait, Semaya Mati (46bait) Puh Maskumambang (32 bait), Puh
Durma (31 bait), dan Puh Meongambar (6 bait).
2.2 Bahasa dalam Lontar Cilinaya
Sesuai
dengan terjemahan dari lontar Cilinaya,
lontar ini berbahasa sasak namun karena lontar yang ditemukan adalah hasil dari
terjemahan makan dan hanya terdapat dua bahasa yaitu bahasa sasak yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Namun penulisan lontar yang asli di
tulis dalam hurup sasak yang tidak jauh berbeda dengan aksara bali, baik dari
bentuk huruf maupun pemaknaannya. Dan lontar ini diterjemahkan oleh tim
penerjemah dan awalnya lontar ini di susun oleh seorang tokoh bernama amaq Sani
dari desa Panebog.
2.3 Ringkasan Cerita Lontar
Cilinaya
Dalam
lontar Cilinaya
diceritakan berdiri dua buah kerajaan yaitu kerajaan Daha dan kerajaan Kling, kedua kerjaan ini dipimpin oleh
dua orang bersaudara yang bernama raja Daha
dan raja Kling. Mereka telah lama hidup dalam rumah
tangga namun belum dikaruniai anak. Pada
suatu saat raja daha dan raja kling pergi ke bhatara guru untuk bermohon agar
segera diberikan keturunan. Dengan berbagai ucapan janji, raja daha bila kelak
dikaruniai anak perempuan, maka akan datang kembali untuk membayar janji dengan
memotong dua ekor kerbau bertanduk emas, berekor sutra berkaki perak kemudian
akan berpesta dengan penuh kemeriahan selama tujuh hari tujuh malam. Sedangkan
raja kling berjani bila kelak dikarunia anak laki-laki maka akan datang kembali
dengan membawa selembar sirih, sebelah pinang dan sepenyusur tembakau.
Dengan
takdir Yang Maha Kuasa raja daha dan raja kling dikabulkan doanya, raja daha
mempunyai anak perempuan, sedangkan raja kling mempunyai anak laki-laki. Kedua
raja sangat senang dan gembira mempunyai anak, sehingga bermaksud untuk
membayar janji, namun apa yang terjadi, raja daha tidak mampu membayar janjinya
pada akhirnya, anaknya diterbangkan angin dan jatuh di taman amaq bangkol. Amaq
bangkol sangat senang menemukan anak perempuan kemudian diasuhnya.
Raja
kling yang mengucapkan jani tidak terlalu istimewa, dapat melaksanakan janji
dengan lebih meriah. Inaq bangkol pergi menjual kain hasil songketan anak
angkatnya, dan pergi menjual ke istana raja kling, raja kling sangat kagum
dengan kain songket inaq bangkol, sang raja bertanya kepada inaq bangkol
siapakah yang menenun kain songket ini, inak bangkol tak mau mengakuinya.
Atas
perintah ayahanda, putra raja kling pergi berburu ke tengah hutan untuk mencari
hati manjangan warna putih sebagai obat ayahandannya.Berhari-hari pergi berburu
namun tak satupun yang didapatnya, karena kelelahan di tengah hutan ditemukan
sebuah pondok dan terdengar suara orang menenun. Putra raja berusaha untuk
menemukan siapakah yang menenun, sang putra raja masuk ke rumah amaq bangkol
sambil mencari siapakah yang menenun, namun usahanya sia-sia. Suatu ketika
secara tidak sengaja hulu keris sang raja yang diselipkan dipunggungnya
terlilit oleh sehelai rambut yang keluar dari dalam kerudak, sang raja berusaha
menariknya, namun yang keluar adalah seorang gadis yang cantik jelita, sang
raja menjadi pingsan.
Raja
kling sangat menderita atas kepergian anaknya, setelah berhari-hari bahkan
sampai berbulan-bulan pergi berburu tidak ada kabar beritanya. Pada suatu
ketika putra raja pulang menghadap kepada ayahanda dan melaporkan kepda dirinya
mau mengawini seorang gadis dari keturunan sudra. Sang raja kling sangat marah
dan sangat tidak setuju terhadap anaknya kawin dengan orang yang berbeda status
sosialnya.
Raja
kling memerintahkan juru potong untuk membunuh sang putri. Sang putri di bawah
ke tengah hutan di pinggir pantai tanjung menangis untuk dibunuh. Sang putri
berpesan sebelum dibunuh, bila nanti darahku keluar dan berbau busuk maka saya
adalah keturunan sudra, tapi bila darah saya keluar dan meluncur ke atas maka
saya adalah keturunan raja. Sang putri di bunuh darahnya keluar ke atas dan
baunya sangat harum. Juru potong sangat menyesal atas perbuatannya, akhirnya
datanglah suara yang memerintahkan agar jenasah itu dimasukan kedalam peti, di
ikat dan dibuag ke laut, waktu di putuskan talinya sang putri di beri nama
lumagasih.
Raja
daha pergi ke pantai dan melihat sebuah peti di atasnya di hinggapi burung
gagak warna putih polos yang dibawah arus gelombang ke pesisir pantai, kemudian
table itu diangkat oleh raja daha dan dibuka ternyata isisnya adalah seorang
anak perempuan yang cantik, dan tenyata gadis itu adalah putrinya, raja daha
sangat sedih dan menyesal atas kematian
putrinya.
2.4
Nilai-nilai yang tertuang dalam lontar Cilinaya
Nilai-nilai dapat dimaknai sebagai landasan, alasan, atau
motivasi dalam bersikap atau bertingkah laku baik disadari maupun tidak
disadari. Nilai juga dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik secara rohani maupun jasmani.
Secara teoretis, makna nilai sesungguhnya terpadu sebagai
integritas kesadarandan pengalaman oleh manusia untuk sesama manusia dengan
keyakinan dapat dipertanggung jawabkan secara sosial budaya (horisonal) dan
dihadapan sang pencipta (vertikal). Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam
lontar Cilinaya ialah:
2.4.1
Nilai Theologi
Memaknai
pemahaman terhadap nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan tentunya kita
harus faham terlebih dahulu apa sebetulnya esensi dari Ketuhanan Yang Maha Esa
tersebut. Nilai Ketuhanan dalam kajian Filsafat, Prof. Achmad Sanusi
memasukannya ke dalam sistem tata nilai kehidupan, dimana nilai ketuhanan di
masukan ke dalam nilai Teologis.
Dan pada hakikatnya manusia adalah
makhluk religius. beragama merupakan
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat bertopang, agama menjadi sandaran vertikal manusia. dan Manusia
adalah mahluk religius yang dianugerahi ajaran-ajaran yg dipercayainya demi
kesehatan dan keselamatannya. Manusia
sebagai mahluk beragama mempunyai kemampuan menghayati pengalaman diri dan
dunianya menurut agama masing-masing. Pemahaman
agama diperoleh melalui pelajaran agama, sembahyang, doa-doa maupun meditasi, komitmen aktif &praktekritual.
Dalam lontar Cilinayad dikatakan:
Lontar Cilinaya
PUH SEMARANG GIRANG.5
Hiya tahoq
taparcaya, sangna haraq hiniq matiq, turut kreng sitisaduq ngebakti liq halah
siq lewih, lek tumangebakti singu bani suruta surut, bakti laiq hinaq hamaq,
haku sangkap kupiyaq tulis, sing memaca haku ngenderng pahala.
Artinya:
Tempatnya saling
percaya, semoga ada yang mengikuti turut perintah Allah yang kuasa, tempatnya
kita berbakti, tetap memohon padanya dan berbakti pada ibu dan ayah.
Lontar CilinayaPUH DANGDANG.7
Sasanakan
deqna deyang bija, sasanakna bangkol behe, jarina lumbar nutu, datu daha lumbar
leq kling, banjurna basamaya mapan tunggul hujut, genna lalo haning,kayangan,
genna neda, layit bhatara siq sakti, hadeqna, hendeyang baja
Artinya:
Kedua saudara tidak mempuyai
anak, keduanya mandul, kemudian datu Daha pergi menuju ke kerajaan Kling, akan
berhasrat dan mengucapkan janji akan pergi ke khayangan untuk memuhon kepada
Bhatara yang sakti bila nanti di berikan anak.
Seperti halnya dalam lontar Cilinaya yang merupakan
naskah klasik Lombok menjelaskan tentang nilai Teologi, hal ini dapat dilihat
dari PUH SEMARANG GIRANG.5 dan PUH DANGDANG.7 dari ketika saat
raja daha dan raja kling pergi ke bhatara guru (Tuhan Yang Maha Esa) untuk bermohon agar
segera diberikan keturunan. Dengan berbagai ucapan janji.rajaDaha menginginkan anak perempuan dan raja Kling menginginkan anak laki-laki. Dengan takdir Yang Maha Kuasa raja daha
dan raja kling dikabulkan doanya, raja Dahan mendapatkan anak perempuan dan raja Kling mendapatkan anak
laki-laki.
Terkait mengenai nilai-nilai Theologi juga dijelaskan
dalam sastra suci Hindu yakni:
Bhagavadgita XI.40.
Namah puras tas artha prsthatas te
Mamostu te sarvata eva sarva
Ananta vi rya mitavikramastvam
Sarvam samapnosi sarvah.
Artinya :
Hormat pada-Mu pada semua sisi, O
Tuhan. Engkau adalah semua yang ada, tak terbatas dalam kekuatan, tak terbatas
dalam keperkasaan. Karena itu engkau adalah semua itu.
Reg Veda I.164.46.
Indram mitram varunam agnim ahur Atho divyah sa suparno garutman Ekam
sadvipra bahudavadhanty Agnim yamam matarisvanam ahuh
Artinya :
Mereka yang menyebut-Nya dengan
Indra, Mitra, Varuna, dan Agni, Ia yang bersayap keemasan Garuda, Ia adalah
Esa, para maharsi (viprah) memberinya banyak nama, mereka menyebut Indra, Yama,
Matarisvan.
Kutipan dari Lontar Cilinaya(Puh
Semarang Girang.5 dan Puh Dangdang.7), Bhagawad Gita XI.40, dan Reg Weda I.164.46 tersebut
menjelaskan nilai Teologi atau Kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Kepercayaan kepada Tuhan yang maha kuasa itu amat penting, karena
keberadaan manusia itu bukan dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Tuhan.
Kepercayaan berarti keyakinan dan pengakuan akan kebenaran. Kepercayaan itu
amat penting, karena merupakan tali kuat yang dapat menghubungkan rasa manusia
dengan Tuhannya.
Bagaimana Tuhan
dapat menolong umatnya, apabila umat itu tidak mempunyai kepercayaan kepada
Tuhannya, sebab tidak ada tali penghubung yang mengalirkan daya
kekuatannya.Oleh karena itu jika manusia berusaha agar mendapat pertolongan darinya,
manusia harus percaya kepada Tuhan, sebab Tuhanlah yang selalu menyertai
manusia. Kepercayaan atau pengakuan akan adanya zat yang maha tinggi yang
menciptakan alam semesta seisinya merupakan konsekuensinya tiap-tiap umat
beragama dalam melakukan pemujaan kepada zat tersebut.
2.4.2
Nilai Etika
Nilai etika adalah nilai yang mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak
dengan mempertimbangkan tentang baik dan buruk tingkah laku manusia.
Dalam ajaran
agama hindu dikenal dengan tiga unsur penting yaitu Tattwa, Susila dan Upakara.
Hal ini disebut dengan tri krangka dasar agama hindu. Dimana tattwa berhubungan
dengan keyakinan, susila yang berhubungan dengan tingkah laku dan upakara yang
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan beragama yang biasanya diimplementasikan
dalam bentuk ritual keagamaan. Ketiga aspek penting dalam agama hindu ini tertuang dalam setiap naskah-naskah
suci hindu yang dijedikan pedoman dalam menjalankan kehidupan beragama.
Seperti
halnya ajaran Tri Kaya Parisudha dalam
agama hindu merupakan bentuk ajaran susila yang berhubungan dengan etika
manusia. Sesungguhnya ajaran etika merupakan suatu hal yang penting dalam
kehidupan manusia. Seperti halnya di Indonesia yang terkenal akan budaya
santunnya itu karena berbagai macam ajaran etika yang terdapat dalam setiap
kepercayaan (agama).
Tri artinya tiga, Kaya artinya gerak atau
perbuatan dan parisudha artinya suci.Tri Kaya Parisudha artinya tiga gerak atau
perbuatan yang harus disucikan. Yakni manacika parisudha (berpikir yang baik),
wacika parisudha (berbicara yang baik), dan kayika parisudha (tindakan atau
perbuatan yang baik). Dalam sloka satya Hindu disebutkan semboyan “Satyam evam jayate na nrtam” artinya
hanya kebenaranlah yang menang bukan kejahatan.
Dalam lontar Cilinaya yang
merupakan lontar naskah klasik Lombok menjelaskan tentang etika, dimana bila
dikaji dalam perspektif ajaran agama Hindu, isi lontar ini sesungguhnya menjelaskan hal yang sederhana
yaitu bagaimana manusia dapat berkata
yang baik dalam hal ini manusia dapat menepati janji yang telah di
ucapkan. Sehingga penulis mencoba menggali ajaran nilai-nilai etika dalam lontar cilinaya dalam pandangan
ajaran agama hindu yaitu Tri Kaya
Parisudha.
a. Wacika
Wacika merupakan suatu ajaran yang sederhana yang wajib dilakukan
oleh manusia, dimana ajaran ini menkankan pada bagaimana manusia dalam perkataannya hendaknya berhati-hati karena dari kata yang diucapkan kita akan mendapatkan teman, dari kata kita
mendapatkan musuh dan dari kata pula kita menmukan kesengsaraan bahkan kematian. Berikut dapat digambarkan dalam lontar Cilinayabagaimana dengan perkataan yang
telah diucapkan namun tidak dapat dipertanggung jawabkan akan mendatangkan
penderitaan.
Lontar CilinayaPUH DANGDANG 25 dan 28
Puh Dangdang 25
Lahiq khayangan pada nyahur sesangi datu Daha linyok leq semaya, deqna
hingat sasanggupna laheq
Artinya:
Pergi ke khayangan membayar kaulnya, raja Daha mengingkari janjinya, lupa
pada perkataan terdahulu.
Puh Dangdang
28
Huwah na pada siq siq leq langan maliq datu daha, nista
jejauhan, pada lelapuq pucat bahe, jari huawah siq pada manjur, datu daha lan
datu kling, datu no genna lumbar, datang ling nano banjur, saking kesukaq
pangeran, bijan datu, bajurna tekelep hisiq angin bijanna, datu daha
Artinya:
Setelah mereka dalam perjalanan, raja daha tidak membawa apa-apa semuanya
tersa tidak enak, jadi semuanya, raja Daha dan raja Kling akan berangkat,
kemudian mereka tiba, karena takdir Tuhan anak sang raja Daha diterbangkan oleh
angin.
Berkaitan dengan nilai etika tentang wacika dapat pula di jelaskan pada :
Pustaka Manusmrta IV. 256
“ Warcyartha niyatah sarve wang mule wagwinih
Srtah, tam ta yah stenayedwacam sah sarwate
Yakrnnatah”
Artinya :
Segala sesuatu dikuasai oleh perkataan, perkataanlah
Akar dan asal sesuatu orang tidak jujur dalam
Kata – kata, sesungguhnya tidak jujur dalam segalanya
Nitisastra dalam bentuk kekawin pada Sargah V sebagai
berikut:
Wasita
nimittanta menemu laksmi
Wasita
nimittanta pati kepangguh
Wasita
nimittanta menemu duhka
Wasita
nimittanta menemu mitra
Artinya:
Oleh perkataan engkau akan medapat kebahagiaan
Oleh perkataan engkau akan medapat kematian
Oleh perkataan engkau akan medapat kesusahan
Oleh perkataan engkau akan medapat sahabat
Dalam kitab Sarasamuccaya ayat 75
Asatpralapam parusyam
Paisunyamanrtam tahta,
Catvari vaca rajendra,
Na jalpennanucintayet.
Nyang tanpa prawrttyaning wak, pat kwehnya, pratyekanya ujar ahala, ujar
apregas ujar pisuna, ujar mithya, nahan tangpat sinanggahananing wak, tan
ujarakena, tan angen-angenan kojaranya.
Artinya:
Inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata, empat banyaknya yaitu :
Perkataan jahat, perkataan kasar, perkataan memfitnah, perkataan bohong/tidak
tepat janji, Inilah keempatnya harus disingkirkan dari perkataan jangan
diucapkan jangan dipikir-pikir akan diucapkannya.
Bhagawad Gita, XVII. 15 menyebutkan:
Anudvega-karam vakyam
Satyam priya-hitam ca yat
Svadhyayabhyasanam caiva
Van-mayam
tapa ucyate
Artinya:
Kata-kata yang tidak menyebabkan perasaan orang
lain terganggu, jujur, menyenangkan dan mengandung kebaikan serta kata-kata
yang dipergunakan untuk belajar serta mempraktekkan pembacaan kitab suci Veda,
semua itu dikatakan sebagai pertapaan kata.
Dari kutipan lontar CilinayaPuh Dangdang 25 dan 26, Pustaka Manusmrta IV. 256, dan Nitisastra dalam bentuk kekawin pada Sargah V, dan Bhagawad Goita
XVII.15 memberikan pandangan kepada kita bahwasanya perkatan sangat perlu diperhatikan dan diteliti
sebelum dikeluarkan karena perkataan merupakan alat yang penting bagi kita,
guna menyampaikan segala isi hati dan maksud seseorang. Dari kata – kata kita
dapat pula memperoleh suatu pengetahuan, mendapatkan suatu hiburan, serta nasehat-nasehat yang sangat berguna baik bagi kita maupun
orang lain. Dengan kata-kata,
orang dapat membuat menderita orang lain bahkan dengan perkataan pula manusia dapat menemukan kematian.
b. Kayika
Kayika Yang berarti perbuatan atau prilaku suci atau berprilaku yang
benar, dimana perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari sangat berpengaruh di
dalam diri manusia, utamanya Ahimsa
karma artinya tidak, membunuh, menyakiti dan menyiksa mahluk lain. Maka
sebaiknyalah kita berprilaku yang baik demi terciptanya hubungan yang harmonis
antara sesama manusia. Kemudian
dalam cerita lontar Cilinaya PUH
KUBUR CARA BALI 210 dan 213 menceritakan:
Lontar CilinayaPUH KUBUR CARA BALI 210
Juru towek barparak muni, sapinambar matana, banjurna tures lito, manjuurna
bademak gancang, sapinna dupak lanjak, neneq bini rembaq nye rangkung, bijana
nagis nengkrak
Artinya:
Juru potong mengatakan, lalu segera mendekati, kemudia memegangnya sambil
memukul dan menendang, sang putri jatuh tersungkur
Lontar CilinayaPUH KUBUR CARA BALI 213
Manjur glisneq bini maca sadat, hane galah aku glis, juru
towek nano marah, bakamat na bagalah, bakat sopoq neneq bini.
Artinya:
Sang putri membaca syahadat, silahkan bunuh saya, juru potong memulai,
bekomat sambil menusuk, sang putri terkena satu tusukan, kemudian tersungkur,
sang putripun terluka.
Kutipan lontar Cilinaya PUH KUBUR
CARA BALI 210 dan 213 menceritakan bahwa kekejaman yang dilakukan oleh juru
potong kepada sang putri mulai dari menendang, memukul bahkan sampai membunuh.
Perbuatan demikian sangatlah bertentangan dengan kebenaran (Dharma) bahwa di
setiap diri mahluk hidup ada percikan terkecilnya yang disebut atman/roh, yang
membedakan hanyalah bentuk badanya saja. Dengan demikian sudah sepatutnya
setiap mahluk hidup khususnya manusia yang dikatakan sebagai mahluk paling
sempurna karena memiliki pikiran agar selalu menjaga keharmonisan dan selalu
menumbuhkan cinta kasih kepada setiap mahluk.
Mengenai perbuatan yang baik dapat dijelaskan dalam susastra Hindu yakni:
Sarasamuccaya. 76 menyebutkan
demikian :
Pranatipatam stainyam ca,
Paradaranathapi va,
Trini papani kayena,
Sarvatah parivarjavet.
Nihan yang tan ulahakena, syamati mati, mangahal
ahal, siparadara, nahan tang telu tan ulahakena ring asing ring parihasa, ring
apatkala, ring pangipyan tuwi singgahana juga.
Artinya:
Inilah yang tidak patut dilakukan: Membunuh,
Mencuri, Berbuat zinaKetiganya janganlah hendaknya dilakukan terhadap
siapapun baik secara berolok-olok, dalam keadaan dirundung malang, dalam
hayalan sekalipun, hendaknya dihindari semua itu.
Kutipan dari Sarasamuccaya. 76 memberikan pandangan kepada kita bahwa dengan berbuat berarti kita telah
membuat suatu karma yang akan mementukan hidup kita pada masa-masa yang akan
datang. Karena kita mengharapkan hidup yang lebih baik pada hari yang akan
datang, maka sekaranglah waktunya kita menanamkan karma yang baik dengan
menghindari perbuatan-perbuatan yang buruk yang dapat membuat mahluk hidup lain merasakan penderitaan.
c. Manacika
Manacika berarti
yang berhubungan dengan pikiran.Manacika Parisudha adalah berpikir yang benar
dan suci.
Dalam lontar Cilinaya menceritakan tentang raja
Kling yang marah karena anaknya ingin menikahi wanita yang dianggap dari
keturunan sudra, yang sebenarnya wanita itu berasal dari keluarga kerajaan.
Karena keragu-raguan hati sang raja, maka ia mengutus juru potong untuk
membunuh wanita itu.
Dari kutipan cerita tersebut dapat kita sikap bahwa, pikiranlah yang menentukan dan memegang
peranan yang sangat besar. Apa saja
yang terdapat dalam pikiran akan tercetus dalam ucapan, dan terwujud pula dalam perbuatan. Pikiran
adalah sumber segala apa yang dilakukan oleh seseorang. Baik buruk perbuatan
seseorang merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik dan suci pikiran
seseorang, maka sudah tentu perbuatan dan segala penampilan akan bersih dan
baik. Apabila diperhatikan benar – benar tentang segala perbuatan manusia di
dunia ini, semuanya berpangkal pada pikiran
Kaitanya dengan konsep manacika dapat dijelaskan
dalam susastra Hindu diantaranya:
Katha Upanisad. 1.6
yas tu vijnanavan
bhavati, yuktena manasa sada,tasyendriyaṇi vaśyani
sadaśva
iva saratheḥ.
Artinya:
Sebaliknya
mereka yang menyadari riak-riak pikiran, pikiran mereka terkendali,
indriya-indriya mereka terkendali dan sang kusir menjadi pengendali tali kekang
dan kuda-kuda yang baik.
Bhagawad Gita.XVII. 16menyebutkan :
Manah-prasadah saumyatvam
Maunam atma-vinigrahah
Bhava-samsuddhirity etat
Tapo manasam ucyate
Artinya:
Pikiran yang puas dalam segala keadaan, kesadaran
yang menyejukkan, suka merenung, suka mengendalikan pikiran, berusaha
sepenuhnya menyucikan pikiran, semua itu dikatakan sebagai pertapaan pikiran.
Dari kutipan kitab Katha Upanisad. 1.6 dan Bhagawad Gita.XVII. 16, memberikan pandangan
terhadap kita bahwa pikiranlah tindakan yang harus diprioritaskan,
karena pada dasarnya semua hal bermula disini.Ia menjadi dasar dari prilaku
kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan); dari pikiran yang murni akan
terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang disekitar kita,
sebaliknya pikiran keruh akan mengelapkan
segala perbuatan kita
Ibarat mengenakan kacamata,
penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan
lensanya, serta kecangihan dari bahan lensanya.
Hal ini dalam Hindu disebutkan
:"tak ada makhluk dari alam manapun yang dapat menyucikan batin kita,
apabila kita sendiri tidak bergerak dan berupaya kearah itu, terlebih
benda-benda materi, tentu tak mungkin menyucikan siapa-siapa". Untuk
menyucikan pikiran, perlu memperbaiki pandangan terlebih dahulu.Untuk
memperbaiki pandangan, diperlukan pemahaman yang baik dan mencukupi tentang
falsafah ajaran agama yang
dapat dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru. Melalui hal tersebut,
kegelapan batin kita menjadi sirna, terbitnya cahaya terang dalam batin melalui
bimbingan beliau, membantu mempercepat proses menuju tujuan akhir.
2.4.3 Nilai Sosial
Dalam Lontar CilinayaPUH PANGKUR. 36.
Hinaq
bangkol banjur bariwa, duh mas mirah, hene bedaq haku gli, hembe huleq sida
masku, saiharan hinaq hamaq, baya bija Bhatara tumurun, neneq bini no babadaq,
lekanna tasolah tariq.
Artinya:
Inaq bangkol
terus memangkuntya, wahai anaku sayang, sekarang beritahu aku dari mana asal
usulmu, siapa nama ibu-bapakmu, mungkin kamu anaknya sang Bhatara, aku akan
menjaga dan menyayangimu, lalu diberitahukan oleh sang putri asal-usulnya.
Dalam kutipan lontar Cilinaya Puh Pangkur.36 menjelaskan tentang nilai sosial yang
sangat baik yang dapat kita contoh dalam kehidupan saat ini, nilai sosial yang
dijelaskan dalam lontar Cilinaya ialah pada saat Amaq Bangkol sangat senang
menemukan seorang anak perempuan dan kemudian di asuhnya dengan penuh cinta dan
kasih sayang. Rasa kasih sayang yang dicurahkan oleh Amaq Bangkol kepada anak
perempuanya tersebut tidak terbatas, padahal anak perempuan itu bukan merupakan
anak kandungnya, akan tetapi Amaq bangkol tetap menyanyangi dengan ikhlas anak
perempuan itu.
Mengenai nilai-nilai sosial, dalam Sarasamuccaya.139 di sebutkan:
Gacchatastistato
vapi jagrateh svapato pi na,
phalam
bhutanitarthaya tat pasoriva cestitam
“Sangksepanya,
bhtahita ikang ulaha, apan ikang wwang lumaku, alungguh, atanghi, maturu,
kuneng, ndatan pakaphalang bhutahita, tan hana pahining prawrttinya lawan
ulahing pesu”
Artinya
Singkatnya,
kesejahteraan mahluk hendaknya anda usahakan, sebab orang yang sedang berjalan,
duduk, bangun dan tidur sekalipun, jika tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat, tiada bedanya perbuatan itu dengan gerak laku hewan.
Bhagawad Gita, IV.33
Sreyan
dravya-mayad yajnaj
Jnana-yajnah
paramtapa
Sarvam
karmakhilam partha
Jnane
parisamapyate
Artinya
Persembahan
berupa ilmu pengetahuan, wahai Arjuna lebih mulia daripada persembahan materi,
dalam keseluruhan kerja ini akan mendapatkan apa yang di inginkan dalam ilmu
pengetahuan, wahai Partha.
Dari kutipan lontar Cilinaya Puh Pangkur. 36, Sarasamuccaya.139 dan Bhagawad Gita.
IV.33 memberikan pandangan terhadap kita bahwa Manusia selain sebagai mahluk individu, manusia juga
dikatakan sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai warga
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri atau
mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai kedudukan dan kekayaan, dia
selalu membutuhkan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi,
berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya.Dapat dikatakan bahwa
sejak lahir, manusia sudah
disebut sebagai makhluk social.
Kesadaran
manusia sebagai makhluk sosial, justru memberikan rasa tanggungjawab untuk
mengayomi individu yang jauh lebih ”lemah” dari pada wujud sosial yang ”besar”
dan ”kuat”. Kehidupan sosial, kebersamaan, baik itu non formal (masyarakat)
maupun dalam bentuk-bentuk formal (institusi, negara) dengan wibawanya wajib
mengayomi individu. Kehidupan sosial
mengajarkan kita arti dari persaudaraan, kebersamaan dalam mencapai
kesejahteraan
2.4.4 Nilai Budaya
Dalam lontar CilinayaPUH DANGDANG. 25.
Dekaq datu
siq lek kling, sergap bebek ayam, jahuqna kaho telu, tur pada batanggek hemas
tur bekupak, selaka murup mahukir, tur berelong sutra habang.
Artinya:
Raja kling,
menyiapkan bebek dan ayam, dan tiga ekor kerbau, juga tandu emas dan kakinya
terbuat dari selaka dan bertatah, juga berekor sutra warna merah,akan dijadikan
ritual.
Terkait dengan nilai-nilai budaya yang
dituangkan dalam lontar Cilinaya ialah
bahwa manusia pada hakekatnya sebagai
mahluk religius yang mempercayai bahwa ada kekuatan yang lebih besar diluar
dari pada kekuatan manusia itu sendiri, artinya bahwa manusia itu percaya akan
adanya Tuhan Yang Maha Esa dan segala yang terjadi adalah atas kehendaknya. Seperti
halnya ketika Raja Kling dikabulkan keinginannya untuk mendapatkan anak, raja
Kling melakukan upacara keagaman sebagai wujud rasa terimakasihnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas segala anugrah yang telah ia rasakan. Ritual keagama yang
dilakukan oleh raja Kling merupakan kegiatan yang dilakukan secara turun
temurun yang dilaksanakan dalam lingkungan kerajaan. Lebih luas lagi ritual
keagaman yang dilakukan oleh raja Kling bertujuan untuk menjalin hubungan yang
lebih harmonis lagi dengan masyarakat tanpa membedakan suku, ras, golongan,
dll.
Manawa Dharmasastra III. 70 tersurat:
Adhyapanam brahma Yajnah,
pitryapastu tarpanam,
homo daiwo balikbaurto,
nryajna ‘tihti pujanam.”
Artinya :
Mengajar dan belajar adalah
Yadnya bagi Brahmana, menghaturkan minyak, susu adalah Yadnya untuk para Dewa,
menghaturkan bali adalah Yadnya untuk para bhuta, dan penerimaan tamu dengan
ramah tamah adalah Yadnya bagi manusia
Dalam lontar CilinayaPUH DANGDANG.25 dan Manawa Dharma Sastra III.70memberikan
pandangan terhadap kita bahwa kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan seperti
pelaksanaan upacara keagamaan hendaknya kita wariskan kepada anak cucu kita. Mengapa
demikian ? sebab di dalam upacara keagaman dapat memantapkan suasana hati,
motivasi-motivasi kuat yang meresapi dan tahan lama dalam hati setiap manusia
serta memperkuat mental setiap individu terhadap agama atau kepercayaan yang di
anutnya.
Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh.Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas.Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Citra budaya
yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman
mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai
logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Nilai-nilai
budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu
masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu
kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu
yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas
apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Lontar Cilinaya
merupakan naskah lama yang terdapat di pulau Lombok, lontar ini sudah di alih
bahasa (diterjemahkan) ke dalam bahasa Indonesia.Dalam menjaga kelestariannya,
lontar cilinaya di musiumkan di museum Negeri Nusa Tenggara Barat di bawah
naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam
museum lontar ini diberikan nomor inventaris 07.932 dengan ukuran naskah
Pj:16,5cm, Lbr: 3cm, Tbl: 13,5cm dengan ukuran teks Pj:10cm, Lbr: 2,5cm. dan
terdapat 197 lempir daun lontar.
Nilai-nilai yang tertuang dalam lontar Cilinaya dapat dimaknai sebagai
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap atau bertingkah laku baik. Nilai
juga dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia, baik secara rohani maupun jasmani. Adapun nilai-nilai
yang tertuang dalam lontar Cilinayadiantaranya:
1. Nilai Theologi (Ketuhanan), 2. Nilai Etika. 3. Nilai Sosial, 4. Nilai
Budaya.
Daftar Pustaka
Kajeng, I
Nyoman,dkk. 2010 ”SARASAMUCCAYA”
Paramitha Surabaya. Denpasar
Pudja. G.
2005.”BHAGAWAD GITA (Pancamo Weda)”
Paramitha Surabaya. Denpasar
Rudia Adiputra, I Gede dkk. 2004. “ Dasar-dasar Agama Hindu” Lestari Karya
Megah : Jakarta
Tim penyusun. 2002. “Transletasi dan terjemahan Naskah Lontar Cilinaya” Museum Negeri
Nusa Tenggara Barat
Tim Penyusun. 2012. “Buku Pelajaran Agama Hindu Kelas XII” Widya Dharma : Denpasar
http://bloogspotpancasatyadalamajaranagamahindu.
Dokumentasi Lontar Cilinaya
Lampiran: 1
![]() |
|
![]() |
Gambling in NJ Is Becoming A Legal Casino, and Is It Legal?
BalasHapusThe 정읍 출장안마 sports betting industry 포항 출장샵 is a growing market, with more than 20 states legal sports betting 동두천 출장샵 online. NJ Online 대구광역 출장마사지 Casino: 100% up to 파주 출장마사지 $1000; BetMGM