BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah
Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu, tampaknya
berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah Pura yang
berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah
arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata Pura
untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau
Hyang. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan
Ketuhanan. Disamping itu juga, Pura adalah tempat suci umat Hindu yang
berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa- NYA
(manifestasi- NYA) dan atau Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur) dengan sarana
upacara yadnya sebagai perwujudan dari Tri Marga.
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas maka dalam laporan penelitian ini akan membahas
mengenai tentang sejarah suatu pura yang dikhususkannya yaitu Pura Kaprusan
yang terletak di Lombok.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah didirikannya Pura Kaprusan?
2. Bagaimana
asal mula diberikan nama Pura Kaprusan?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui dengan jelas sejarah pura khususnya Pura Kaprusan di Lombok.
2. Agar
dapat mengetahui asal mula nama Kaprusan tersebut.
3. Untuk
memenuhi tugas bidang study Tattwa.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Singkat Pura Kaprusan
Menurut beberapa sumber yang didapat,
perjalanan Dang Hyang Dwijendra hingga ke Pulau Lombok merupakan lanjutan dari
perjalanan beliau dari Jawa dan Bali. Beliau kerap berpindah-pindah tempat. Di
awali dari daerah Daha, kemudian ke Pasuruan, Blambangan, terus ke kawasan
Pulau Bali bagian Barat-Jembrana (sekitar tahun Çaka 1411).
Selain mengelilingi pantai selatan Pulau Bali, beliau
melanjutkan perjalanan
spiritual ke kawasan Bali Utara. Seperti Pura Pulaki hingga ke Pura Ponjok
Batu. Sebelum melanjutkan perjalanannya ke Pulau Lombok, ditempat yang terakhir
itulah Dang Hyang Dwijendra disebutkan sempat menolong beberapa orang bendega
atau nelayan perahu yang karam dekat Ponjok Batu. Para bendega asal Lombok yang
diselamatkan beliau itu konon turut mengantarkan Dang Hyang Dwijendra ke
Lombok, perjalanan Dang Hyang Dwijendra
dari Pojok Batu (Bali) menuju ke pulau Lombok dan beliau berlabuh di
daerah malingbu, kata malingbu berasal dari kata “malbhu” yang berarti melabuh.
Setelah itu beliau berjalan menyusuri pinggiran pantai menuju kearah selatan dan
beliau melihat laut yang muncrat ditebing pinggir pantai lalu beliau melakukan
semadhi ditempat pura tersebut dan kemudian beliau menepatkan batu di pojok
selatan areal pura, batu tersebut disebut batu kapurusa. Setelah itu baru di
bangunlah pura kaprusan tersebut oleh masyarakat di sana terutama Mangku
Nanggeng dan Mangku Wayan Arta. Mangku Arta salah satu yang merupakan pemangku
yang sehari-hari siap melayani umat tangkil ke pura itu. Kata beliau,
keberadaan pura itu memiliki nilai sejarah dan spiritual sebagai bagian dari
perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra yang usai menyusuri pantai-pantai di Bali.
Dikatakannya, sebelum beliau yang disebut pula sebagai Ida Peranda Sakti Wawu
Rauh. Kemudian beliau melanjutkan perjalananya sampai di Batu Belong, pertama
kali memasuki kawasan Tanjung ukur dan Kapurusan. Dan melanjutkan ke lingsar dan
suranadi.
Ikhwal yang paling
menonjol peran beliau dalam penerapan konsep pembangunan pura di Bali
maupun di Lombok adalah tentang perlunya dibangun sebuah pelingggih dalam
bentuk Padmasana sebagai sthana Ida Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha
Pencipta). Dikatakan berbeda peruntukannya dengan tempat pemujaan lain, yang umumnya
berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur dan para dewa. Disamping
mengenai sejarahnya, mangku arta juga mengatakan bahwa pura kaprusan telah
melakukan pembugaran dengan dipelaspas oleh perande Ketut Rai. Pada tahun 2010
dilakukan perenovasian untuk pelinggih gunung agung yang di puput oleh perande
Subali Tegeh.
Pada pura kaprusan ini ada beberapa
pelinggih yaitu pelinggih Bhatara Baruna Asta atau Pelinggih Dang Hyang
Dwijendra, pelinggih Gunung Agung, Linggam, pelinggih tempat Pertirtaan, dan
pelinggih tempat Pelukatan. Selain terdapat pelinggih tersebut juga terdapat
adanya Bale Pekemitan atau Pesandegan dan Bale Pawedaan. Untuk dapat masuk ke
pura kaprusan kita harus melewati anak tangga yang menurun panjang dari candi
pelawangan menuju utama mandala. Sebelum masuk utama mandala terdapat pelinggih
yang di sebut pelinggih Pertirtaan dan dibawah pinggir pantai terdapat
pelinggih Pelukatan. Setelah masuk ke utama mandala terdapat tiga pelinggih yaitu pelinggih Bhatara Baruna
Asta atau Pelinggih Dang Hyang Dwijendra, pelinggih Gunung Agung dan Linggam.
Bangunan lain yang terdapat di utama mandala yaitu Bale Pawedaan dan Bale
Pekemitan. Pura Kaprusan ini diempon
oleh empat dusun yaitu Dusun Kerandangan, Batu Layar, Tanah Embet Barat dan
Tanah Embet Timur.
Pujawali atau piodalan
di pura kaprusan jatuh pada purnamaning sasih sada yang dilaksanakan satu tahun sekali. Dimana satu hari sebelum
acaranya, masyarakat disana membuat atau menghias penjor dan membersihkan pura
tersebut. Kemudian pada puncak acaranya yaitu pagi mesesapun atau melukat dan
memargiang prayascita dan jam 4 melaksanakan nuhur tirta setempat, lalu
melakukan persembahyangan pujawali dan ngelukar atau ngeluarkan yang di puput oleh perande. Seperti yang kita ketahui pada umumnya, umat hindu dalam
melaksanakan upacara selalu identik dengan daging babi tetapi berbeda dalam
pura kaprusan, dimana daging babi tidak diperbolehkan dalam pujawali pura
kaprusan. Namun bagi masyarakat yang makan daging bali tetap bisa melakukan
persembahyangan dengan terlebih dahulu menyucikan diri yang dikenal dengan nama
melukat. Selain aturan tersebut, pura kaprusan juga memiliki peraturan yang
sama seperti pada umumnya yaitu bagi wanita yang sedang haid tidak boleh
memasuki area utama mandala serta tidak bolehnya juga memakai celana dengan kata lain harus memakai kain dan selendang. Disamping adanya peraturan, pura kaprusan juga memiliki hal-hal
yang unik seperti adanya sebuah linggam dan air yang muncrat dipinggir pantai
sehingga terdengar deburan air yang ramai yang semakin membuat pura kaprusan terlihat indah.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pura Kaprusan ini terletak di utara
Pantai Senggigi, tepatnya di utara Hotel Sheraton Senggigi. Untuk dapat memasuki pura kaprusan kita harus berjalan sekitar 100 meter untuk
sampai pura melewati jalan menurun yang telah dibuat berundak- undak, dari
undak- undakan ini kita bisa melihat
indahnya Pantai Senggigi di arah kiri kita. . Sebelum masuk utama
mandala terdapat pelinggih yang di sebut pelinggih Pertirtaan dan dibawah
pinggir pantai terdapat pelinggih Pelukatan. Setelah masuk ke utama mandala
terdapat tiga pelinggih yaitu pelinggih Bhatara Baruna Asta atau Pelinggih Dang
Hyang Dwijendra, pelinggih Gunung Agung dan Linggam. Bangunan lain yang
terdapat di utama mandala yaitu Bale Pawedaan dan Bale Pekemitan.
Awal diberikan
nama Pura Kaprusan adalah ketika di tempat yang terakhir itulah Dang Hyang Dwijendra
disebutkan sempat menolong beberapa orang bendega atau nelayan perahu yang
karam dekat Ponjok Batu. Para bendega asal Lombok yang diselamatkan beliau itu
konon turut mengantarkan Dang Hyang Dwijendra ke Lombok, perjalanan Dang Hyang
Dwijendra dari Pojok Batu (Bali) menuju
ke pulau Lombok dan beliau berlabuh di daerah malingbu, kata malingbu berasal
dari kata “malbhu” yang berarti melabuh. Setelah itu beliau berjalan menyusuri
pinggiran pantai menuju kearah selatan dan beliau melihat laut yang muncrat
ditebing pinggir pantai lalu beliau melakukan semadhi ditempat pura tersebut
dan kemudian beliau menepatkan batu di pojok selatan areal pura, batu tersebut
disebut batu kapurusa. Setelah itu baru di bangunlah pura kaprusan tersebut
oleh masyarakat di sana terutama Mangku Nanggeng dan Mangku Wayan Arta. Mangku
Arta salah satu yang merupakan pemangku yang sehari-hari siap melayani umat
tangkil ke pura itu. Kata beliau, keberadaan pura itu memiliki nilai sejarah
dan spiritual sebagai bagian dari perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra yang
usai menyusuri pantai-pantai di Bali. Dikatakannya, sebelum beliau yang disebut pula sebagai Ida Peranda Sakti
Wawu Rauh. Kemudian beliau melanjutkan perjalananya sampai di Batu Belong,
pertama kali memasuki kawasan Tanjung ukur dan
Kapurusan. Dan melanjutkan ke lingsar dan suranadi. Pujawali Pura
Kaprusan jatuh pada purnamaning Sasih Sada yang hanya satu tahun sekali dengan
dipuput oleh pedande. Pura Kaprusan ini diempon oleh empat dusun yaitu Dusun
Kerandangan, Batu Layar, Tanah Embet Barat dan Tanah Embet Timur.
DAFTAR INFORMASI
1.
Nama : Mangku Wayan Parka
Alamat : Tanah Embet Barat
Pekerjaan : Pemangku
2.
Nama : Nengah Mangku
Alamat : Tanah Embet Barat
Pekerjaan : Mangku untuk keluarga
3.
Nama : Mangku Wayan Artha
Alamat : Tanah Embet Barat
Pekerjaan : Pemangku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar